Sebagaimana di berbagai lingkungan lainnya, Ramadhan
selalu membawa suasana yang berbeda di pesantren, yang berbeda dari hari-hari
biasanya. Di banyak pesantren salaf yang tidak mengadopsi sistem pendidikan
formal, biasanya sistem penanggalan Hijriyyah masih digunakan sebagai acuan
kalender akademik mereka. Di pesantren model ini, pada umumnya Ramadhan menjadi
momentum libur akhir tahun pelajaran, karena kalender akademik dimulai dari
bulan Syawwal sampai bulan Rajab atau Sya’ban. Sementara itu, pesantren-pesantren
lain yang terintegrasi dengan institusi pendidikan ”resmi”, biasanya tidak
meliburkan santrinya selama sebulan penuh, karena mengikuti kalender akademik
di institusi pendidikan lain pada umumnya. Namun, meski begitu, biasanya ada
ritus dan jadwal khusus, serta ”pelonggaran” aturan selama Ramadhan.
Bertahun-tahun saya merasakan sendiri apa yang disebutkan
terakhir, karena pesantren saya memang ”menampung” ”santri” yang juga sekaligus
”pelajar”. Pada bulan Ramadhan, beberapa hal yang biasanya dikenakan ta’zir (sanksi)
apabila dilakukan, seperti bermain PS, membawa ponsel, dll, cenderung dtolerir.
Bahkan, pemantauan ketat pengurus pondok terhadap santri dalam hal kehadiran
pada kegiatan ngaji kitab juga melonggar. Ngaji ya monggo, ora ya
karepmu, begitu kira-kira. Pada pesantren seperti ini, Ramadhan memang
berada di posisi antara, setengah libur dan setengah tidak. Namun, selain itu,
aspek kesadaran sepertinya juga hendak ditekankan oleh policy maker di
pesantren, agar santri dalam melakukan kegiatannya tidak melulu dan semata
didorong oleh ancaman ta’zir, namun juga dari kesadarannya sendiri.
Sampai tahap tertentu, tujuan ini cukup berhasil. Nyatanya, suasana dan
kegiatan Ramadhan di pesantren tetap marak.
Salah satu aturan yang setengah-setengah (artinya, aturan
itu ada, tapi pemantauan dan penegakan aturan itu hampir ol) itu, di pesantren
saya adalah kewajiban shalat tarawih di pondok. Meskipun aturan ini ada, tapi
kebanyakan santri lebih memilih shalat tarawih di masjid-masjid di luar pondok,
dengan berbagai motif. Ada yang memang karena ingin mencari masjid dengan
tarawih yang lebih cepat selesai, ada yang karena ingin mencari suasana baru di
tengah masyarakat di luar pondok. Saya termasuk golongan ini, lengkap dengan
dua motif tersebut. Saat itu, jalan pikiran saya sederhana saja. Bukankah ini
kesempatan yang baik untuk berbaur dengan dan di tengah masyarakat. Bukankah
sebagai bagian yang kelak akan terjun di masyarakat, harusnya seorang santri
tidak teralienasi dari kehidupan masyarakat sekitarnya. Juga beberapa argumen
semacam itu.
Meskipun pada momentum Ramadhan ini, kami—saya dan
beberapa orang teman—sering berkeliling menunaikan shalat Tarawaih di
masjid-masjid sekitar pondok secara bergiliran, kami menemukan bahwa corak
kebanyakan tarawih di berbagai masjid yang kami singgahi memang sama. Biasanya,
surat pendek yang dibaca sesudah al-Fatihah pada rakaat pertama tiap-tiap
shalat dimulai dari at-Takatsur pada shalat yang pertama, sampai al-Lahab pada
shalat yang ke-10 (artinya pada shalat yang terdiri dari rakaat 19 & 20,
karena tiap shalat terdiri dari dua rakaat), sedangkan yang dibaca pada rakaat
kedua tiap shalat hampir pasti adalah al-Ikhlas.
Memang, ada beberapa masjid yang tidak seperti ini.
Kebetulan, kota tempat saya mondok (Kudus) memang terkenal dengan pondok
Qur’an-nya. Karenanya, di beberapa masjid dilaksanakan metode khataman
dalam tarawih. Maksudnya, karena pada umumnya dalam satu bulan Ramadhan ada 30
kali tarawih (sesuai dengan jumlah hari dalam bulan ini), dan kebetulan
al-Qur’an juga terdiri dari 30 juz, maka tiap satu kali prosesi tarawih yang
terdiri dari 20 rakaat, diusahakan dibaca 1 juz. Ayat-ayat al-Quran dalam satu
juz ini dibaca sesudah al-Fatihah, sebagian-demi sebagian. Yang jelas, tiap
kali selesai 20 rakaat, harus sudah terbaca 1 juz.
Sayangnya,
kami—saya dan beberapa teman—termasuk orang yang tak sabaran kalau musti
ikut tarawih model begini. Karena itu, ketika lama-kelamaan kami merasa bosan
dengan tarawih yang ”gitu-gitu saja” di berbagai masjid yang kami singgahi,kami
memutuskan mengambil jalan ”subversif”: membikin tarawih tandingan di pndok.
Alih-alih mengikuti tarawih ”resmi” dari pondok yang dilaksanakan di aula dan
diimami seorang guru, kami membuat tarawih sendiri di kamar. Alasannya simpel:
tarawih ”resmi” dari pondok sama saja dengan berbagai tarawih yang kami temui
di luar pondok, terlalu standar dan dengan kecepatan rata-rata. Bacaannya pun
juga standar.
Dalam ritus tarawih yang kami bikin sendiri di kamar,
kemi berusaha memodifikasi beberapa hal yang biasa menjadi sesuai selera kami.
Tentu kami tak mungkin memodifikasi tata cara, syarat, dan rukun shalat itu
sendiri, yang sudah dianggap baku dan paripurna. Kami cuma mengubah beberapa
bagian yang sudah terlalu mainstream menjadi agak sedikit beda. Yang
paling kentara, adalah surat-surat yang kami baca setelah al-Fatihah. Jika di
masjid-masjid pada umumnya dibaca surat-surat pendek atau bacaan Qur’an satu
juz, setelah al-Fatihah kami hanya membaca ayat-ayat super pendek yang menjadi
permulaan beberapa surat dalam al-Qur’an, seperti nun, alif lam mim, alif
lam ra, kaf ha ya ’ain shad, yasin, dll. Praktis, tarawih kami pun menjadi
begitu cepat. Mungkin amat cepat.
Kebiasaan tersebut bertahan bertahun-tahun sejak saya
kelas satu sampai saya kelas tiga ’Aliyah. Pada tahun terakhir saya di pondok,
saat saya kelas tiga ’Aliyah, saya mempunyai keinginan untuk melakukan hal-hal
atau mengikuti kegiatan-kegiatan yang sebelumnya jarang saya lakukan atau
ikuti, setidaknya untuk menambah kenangan selama saya mondok. Pada
Ramadhan tahun itu, saya kembali ingin berkeliling ke masjid-masjid di sekitar
pondok untuk menunaikan tarawih. Semacam keinginan untuk menghayati
detail-detail dan menapaktilasi tempat-tempat yang pernah dan masih bisa
dikunjungi, namun akan segera ditinggalkan.
Saya masih ingat sekali, beberapa hari sebelum tarawih
terakhir di bulan Ramadhan tahun itu, saya tersadar bahwa selama empat tahun mondok di Kudus, saya
belum pernah sekalipun shalat tarawih di Masjid Menara Kudus, sebuah masjid
yang menjadi ikon Kota Kudus, yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari pondok
saya. Pada tahun-tahun sebelumnya, masjid ini memang tak pernah masuk dalam
daftar masjid yang ingin saya datangi untuk shalat tarawih. Pasalnya, masjid
ini memang terkenal dengan tarawihnya yang cukup lama. Lebih lama dibanding
masjid-masjid lain di sekitar pondok saya. Masjid ini memang menerapkan
pembacaan satu juz al-Qur’an dalam satu kali ”prosesi” tarawih pada tiap malam.
Pembacaannya pun dilakukan dengan lambat-lambat.
Akhirnya, pada waktu itu saya bertekad, saya harus mendatangi
masjid itu paling tidak pada kesempatan terakhir tarawih di bulan Ramadhan
tahun itu. Alhamdulillah, tekad saya terlaksana. Meskipun harus cukup bersabar
karena saya sama sekali tidak terbiasa mengikuti ”prosesi” tarawih yang cukup
lama, ada semacam beban yang terangkat. Juga ada rasa haru (ini mungkin agak lebay
ya) karena saya akhirnya melaksanakan suatu hal yang karena cuma sekali,
bisa menjadi bagian dar kenangan selama saya mondok di Kudus.
Satu tahun setelah itu, juga setelah tahun pertama kuliah
saya, kebetulan Ramadhan jatuh berbarengan dengan libur semester genap. Saya
dan beberapa teman pondok yang sudah berpisah satu sama lain, memutuskan untuk
menghabiskan liburan itu bersama dengan mondok posonan (mondok yang
dilakukan cuma pada bulan puasa. Bagian ini mungkin akan saya jelaskan dalam
tulisan lain) di Krapyak, Yogyakarta. Selain karena saya memang punya mbak
(mbak dalam pengertian sebenarnya. Sebagian kelas menengah ngehe kadang
menggunakan kata ini untuk merujuk pada asisten rumah tangga yang berasal dari
Jawa) di sana, kebetulan kami juga punya teman yang mondok di sana.
Pesantren yang secara resmi bernama Al-Munawwir, namun
lebih dikenal dengan sebutan ”pesantren Krapyak” (di lingkungan muslim
tradisionalis Jawa, apalagi kalangan santri, hampir tidak ada yang tidak
mengenal pesantren ini) ini kebetulan adalah pesantren al-Qur’an. Artinya,
program utama pesantren ini adalah mendidik santrinya dalam menghafal 30 juz
al-Qur’an, selain pembelajaran kitab salaf yang diberikan sebagai
tambahan. Kami yang berlatarbelakang pesantren kitab (yaitu pesantren yang
menekankan pembelajaran kitab, mulai dari cara membaca dan memahami teks kitab,
sampai menganalisa dan mendiskusikan isi kitab) dalam beberapa hal belum cukup
akrab dengan tradisi pesantren ini, salah satunya dalam hal tarawih.
Di pesantren ini, sebagaimana di banyak pesantren al-Qur’an
lainnya, ada target untuk mengkhatamkan al-Qur’an dalam ritual tarawih selama
bulan Ramadhan. Bedanya, karena di pesantren ini biasanya santri-santri sudah
diliburkan setelah tanggal 20 Ramadhan, maka batas waktu ”peng-khataman” Qur’an
pun adalah 20 hari. Artinya dalam pelaksanaan tarawih setiap harinya, yang
dibaca kurang lebih sebanya 1,5 juz. Kami yang sebelumnya saja tak terbiasa
melaksanakan shalat tarawih dengan pembacaan 1 juz, kali ini harus mengikuti
tradisi ini. Berita baiknya, meskipun ”jumlah” yang dibaca sekitar 1,5 juz,
tapi pembacaan dilakukan secara cepat. Entu tanpa mengabaikan kaidah tajwid dan
tartil yang harus dipenuhi.
Lama-kelamaan kami mulai terbiasa dengan ”prosesi”
tarawih ini. Ternyata, kami kembali harus terkaget menjelang hari ke-20 bulan
Ramadhan. Kami baru tahu bahwa setelah tanggal 20 Ramadhan, ketika para santri
sudah mulai banyak yang pulang, tarawih dilaksanakan dengan target khataman
pembacaan al-Qur’an tiap empat hari sekali. Artinya dalam satu kali ”prosesi”
tarawih di tiap malam, dibaca sebanyak kurang lebih 7,5 juz al-Qur’an. Hal ini
jujur saja cukup menggelisahkan. Pasalnya, sebelumnya kami berencana akan
pulang dari pondok baru pada tanggal 23-25 Ramadhan. Untungnya, kami kemudian
diberitahu salah seorang pengurus pondok, bahwa karena hari-hari setelah 20
Ramadhan sudah dianggap hari libur, para santri yang masih ada di pondok tidak
diharuskan mengikuti tarawih di situ. Mereka diperbolehkan mengikuti tarawih
yang lebih singkat, yang diadakan
masjid-masjid di sekitar pondok.
Meskipun selanjutnya kami benar-benar tidak mengikuti ”ritual
tarawih 7,5 juz” itu, saya cukup mengamati pelaksanaannya, sehingga bisa cukup
menggambarkannya di sini.
Karena peosesi ini pasti cukup melelahkan dan menguras
tenaga, imam yang memimpin tarawih biasanya bergantian tiap beberapa rakaat
sekali. Selain itu, karena setelah al-Fatihah, ayat-ayat yang dibaca pasti
cukup banyak, para makmum biasanya tidak langsung takbir mengikuti imam setelah
menyelesaikan dua rakaat. Mereka biasanya istirahat dulu sambil minum-minum
atau bahkan sambil merokok. Mereka baru akan takbiratul ihram
menjelang imam akan rukuk setelah sebelumnya membaca berlembar-lembar ayat
al-Qur’an yang mereka hafal. Tak jarang, makmum juga melaksanakan shalat dengan
duduk, karena tentu cukup melelahkan jika berdiri sambil menyimak bacaan imam
yang berlembar-lembar itu pada tiap rakaatnya. (dalam literatur fiqh klasik
yang dipelajari di pesantren, shalat sunnah memang boleh dilaksanakan dengan
berdiri, meskipun tidak ada udzur syar’i seperti kelumpuhan atau
penyakit yang menyebabkan seseorang tak mungkin untuk untuk berdiri lama-lama)
Pelaksanaan shalat tarawih ini biasanya baru berakhir
pada pukul 10 sampai 10.30 malam.
Sampai sekarang, saya hampir tak menemukan lagi
”tarawih-tarawih unik” seperti yang saya jelaskan tadi. Menjelang memasuki
tahun ketiga kuliah saya saat ini, di tengan lingkungan urban dengan
ritual-ritualnya yang terbilang ”kering” dan ”hambar”, tradisi-tradisi nyentrik
seperti itu kadang memang bikin kangen dan patut dikenang.
Ini pengalaman tarawihku, bagaimana pengalaman tarawihmu?
(dalam literatur fiqh klasik yang dipelajari di pesantren, shalat sunnah memang boleh dilaksanakan dengan berdiri, meskipun tidak ada udzur syar’i seperti kelumpuhan atau penyakit yang menyebabkan seseorang tak mungkin untuk untuk berdiri lama-lama)
BalasHapus~mungkin yg dimaksud adalah "shalat sunnah memang boleh dilaksanakan dengan duduk" kali yaa.. :)