Kamis, 18 Juni 2015

Tarawih



Sebagaimana di berbagai lingkungan lainnya, Ramadhan selalu membawa suasana yang berbeda di pesantren, yang berbeda dari hari-hari biasanya. Di banyak pesantren salaf yang tidak mengadopsi sistem pendidikan formal, biasanya sistem penanggalan Hijriyyah masih digunakan sebagai acuan kalender akademik mereka. Di pesantren model ini, pada umumnya Ramadhan menjadi momentum libur akhir tahun pelajaran, karena kalender akademik dimulai dari bulan Syawwal sampai bulan Rajab atau Sya’ban. Sementara itu, pesantren-pesantren lain yang terintegrasi dengan institusi pendidikan ”resmi”, biasanya tidak meliburkan santrinya selama sebulan penuh, karena mengikuti kalender akademik di institusi pendidikan lain pada umumnya. Namun, meski begitu, biasanya ada ritus dan jadwal khusus, serta ”pelonggaran” aturan selama Ramadhan.
Bertahun-tahun saya merasakan sendiri apa yang disebutkan terakhir, karena pesantren saya memang ”menampung” ”santri” yang juga sekaligus ”pelajar”. Pada bulan Ramadhan, beberapa hal yang biasanya dikenakan ta’zir (sanksi) apabila dilakukan, seperti bermain PS, membawa ponsel, dll, cenderung dtolerir. Bahkan, pemantauan ketat pengurus pondok terhadap santri dalam hal kehadiran pada kegiatan ngaji kitab juga melonggar. Ngaji ya monggo, ora ya karepmu, begitu kira-kira. Pada pesantren seperti ini, Ramadhan memang berada di posisi antara, setengah libur dan setengah tidak. Namun, selain itu, aspek kesadaran sepertinya juga hendak ditekankan oleh policy maker di pesantren, agar santri dalam melakukan kegiatannya tidak melulu dan semata didorong oleh ancaman ta’zir, namun juga dari kesadarannya sendiri. Sampai tahap tertentu, tujuan ini cukup berhasil. Nyatanya, suasana dan kegiatan Ramadhan di pesantren tetap marak.
Salah satu aturan yang setengah-setengah (artinya, aturan itu ada, tapi pemantauan dan penegakan aturan itu hampir ol) itu, di pesantren saya adalah kewajiban shalat tarawih di pondok. Meskipun aturan ini ada, tapi kebanyakan santri lebih memilih shalat tarawih di masjid-masjid di luar pondok, dengan berbagai motif. Ada yang memang karena ingin mencari masjid dengan tarawih yang lebih cepat selesai, ada yang karena ingin mencari suasana baru di tengah masyarakat di luar pondok. Saya termasuk golongan ini, lengkap dengan dua motif tersebut. Saat itu, jalan pikiran saya sederhana saja. Bukankah ini kesempatan yang baik untuk berbaur dengan dan di tengah masyarakat. Bukankah sebagai bagian yang kelak akan terjun di masyarakat, harusnya seorang santri tidak teralienasi dari kehidupan masyarakat sekitarnya. Juga beberapa argumen semacam itu.
Meskipun pada momentum Ramadhan ini, kami—saya dan beberapa orang teman—sering berkeliling menunaikan shalat Tarawaih di masjid-masjid sekitar pondok secara bergiliran, kami menemukan bahwa corak kebanyakan tarawih di berbagai masjid yang kami singgahi memang sama. Biasanya, surat pendek yang dibaca sesudah al-Fatihah pada rakaat pertama tiap-tiap shalat dimulai dari at-Takatsur pada shalat yang pertama, sampai al-Lahab pada shalat yang ke-10 (artinya pada shalat yang terdiri dari rakaat 19 & 20, karena tiap shalat terdiri dari dua rakaat), sedangkan yang dibaca pada rakaat kedua tiap shalat hampir pasti adalah al-Ikhlas.
Memang, ada beberapa masjid yang tidak seperti ini. Kebetulan, kota tempat saya mondok (Kudus) memang terkenal dengan pondok Qur’an-nya. Karenanya, di beberapa masjid dilaksanakan metode khataman dalam tarawih. Maksudnya, karena pada umumnya dalam satu bulan Ramadhan ada 30 kali tarawih (sesuai dengan jumlah hari dalam bulan ini), dan kebetulan al-Qur’an juga terdiri dari 30 juz, maka tiap satu kali prosesi tarawih yang terdiri dari 20 rakaat, diusahakan dibaca 1 juz. Ayat-ayat al-Quran dalam satu juz ini dibaca sesudah al-Fatihah, sebagian-demi sebagian. Yang jelas, tiap kali selesai 20 rakaat, harus sudah terbaca 1 juz.
 Sayangnya, kami—saya dan beberapa teman—termasuk orang yang tak sabaran kalau musti ikut tarawih model begini. Karena itu, ketika lama-kelamaan kami merasa bosan dengan tarawih yang ”gitu-gitu saja” di berbagai masjid yang kami singgahi,kami memutuskan mengambil jalan ”subversif”: membikin tarawih tandingan di pndok. Alih-alih mengikuti tarawih ”resmi” dari pondok yang dilaksanakan di aula dan diimami seorang guru, kami membuat tarawih sendiri di kamar. Alasannya simpel: tarawih ”resmi” dari pondok sama saja dengan berbagai tarawih yang kami temui di luar pondok, terlalu standar dan dengan kecepatan rata-rata. Bacaannya pun juga standar.
Dalam ritus tarawih yang kami bikin sendiri di kamar, kemi berusaha memodifikasi beberapa hal yang biasa menjadi sesuai selera kami. Tentu kami tak mungkin memodifikasi tata cara, syarat, dan rukun shalat itu sendiri, yang sudah dianggap baku dan paripurna. Kami cuma mengubah beberapa bagian yang sudah terlalu mainstream menjadi agak sedikit beda. Yang paling kentara, adalah surat-surat yang kami baca setelah al-Fatihah. Jika di masjid-masjid pada umumnya dibaca surat-surat pendek atau bacaan Qur’an satu juz, setelah al-Fatihah kami hanya membaca ayat-ayat super pendek yang menjadi permulaan beberapa surat dalam al-Qur’an, seperti nun, alif lam mim, alif lam ra, kaf ha ya ’ain shad, yasin, dll. Praktis, tarawih kami pun menjadi begitu cepat. Mungkin amat cepat.
Kebiasaan tersebut bertahan bertahun-tahun sejak saya kelas satu sampai saya kelas tiga ’Aliyah. Pada tahun terakhir saya di pondok, saat saya kelas tiga ’Aliyah, saya mempunyai keinginan untuk melakukan hal-hal atau mengikuti kegiatan-kegiatan yang sebelumnya jarang saya lakukan atau ikuti, setidaknya untuk menambah kenangan selama saya mondok. Pada Ramadhan tahun itu, saya kembali ingin berkeliling ke masjid-masjid di sekitar pondok untuk menunaikan tarawih. Semacam keinginan untuk menghayati detail-detail dan menapaktilasi tempat-tempat yang pernah dan masih bisa dikunjungi, namun akan segera ditinggalkan.
Saya masih ingat sekali, beberapa hari sebelum tarawih terakhir di bulan Ramadhan tahun itu, saya tersadar bahwa selama  empat tahun mondok di Kudus, saya belum pernah sekalipun shalat tarawih di Masjid Menara Kudus, sebuah masjid yang menjadi ikon Kota Kudus, yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari pondok saya. Pada tahun-tahun sebelumnya, masjid ini memang tak pernah masuk dalam daftar masjid yang ingin saya datangi untuk shalat tarawih. Pasalnya, masjid ini memang terkenal dengan tarawihnya yang cukup lama. Lebih lama dibanding masjid-masjid lain di sekitar pondok saya. Masjid ini memang menerapkan pembacaan satu juz al-Qur’an dalam satu kali ”prosesi” tarawih pada tiap malam. Pembacaannya pun dilakukan dengan lambat-lambat.
Akhirnya, pada waktu itu saya bertekad, saya harus mendatangi masjid itu paling tidak pada kesempatan terakhir tarawih di bulan Ramadhan tahun itu. Alhamdulillah, tekad saya terlaksana. Meskipun harus cukup bersabar karena saya sama sekali tidak terbiasa mengikuti ”prosesi” tarawih yang cukup lama, ada semacam beban yang terangkat. Juga ada rasa haru (ini mungkin agak lebay ya) karena saya akhirnya melaksanakan suatu hal yang karena cuma sekali, bisa menjadi bagian dar kenangan selama saya mondok di Kudus.
Satu tahun setelah itu, juga setelah tahun pertama kuliah saya, kebetulan Ramadhan jatuh berbarengan dengan libur semester genap. Saya dan beberapa teman pondok yang sudah berpisah satu sama lain, memutuskan untuk menghabiskan liburan itu bersama dengan mondok posonan (mondok yang dilakukan cuma pada bulan puasa. Bagian ini mungkin akan saya jelaskan dalam tulisan lain) di Krapyak, Yogyakarta. Selain karena saya memang punya mbak (mbak dalam pengertian sebenarnya. Sebagian kelas menengah ngehe kadang menggunakan kata ini untuk merujuk pada asisten rumah tangga yang berasal dari Jawa) di sana, kebetulan kami juga punya teman yang mondok di sana.
Pesantren yang secara resmi bernama Al-Munawwir, namun lebih dikenal dengan sebutan ”pesantren Krapyak” (di lingkungan muslim tradisionalis Jawa, apalagi kalangan santri, hampir tidak ada yang tidak mengenal pesantren ini) ini kebetulan adalah pesantren al-Qur’an. Artinya, program utama pesantren ini adalah mendidik santrinya dalam menghafal 30 juz al-Qur’an, selain pembelajaran kitab salaf yang diberikan sebagai tambahan. Kami yang berlatarbelakang pesantren kitab (yaitu pesantren yang menekankan pembelajaran kitab, mulai dari cara membaca dan memahami teks kitab, sampai menganalisa dan mendiskusikan isi kitab) dalam beberapa hal belum cukup akrab dengan tradisi pesantren ini, salah satunya dalam hal tarawih.
Di pesantren ini, sebagaimana di banyak pesantren al-Qur’an lainnya, ada target untuk mengkhatamkan al-Qur’an dalam ritual tarawih selama bulan Ramadhan. Bedanya, karena di pesantren ini biasanya santri-santri sudah diliburkan setelah tanggal 20 Ramadhan, maka batas waktu ”peng-khataman” Qur’an pun adalah 20 hari. Artinya dalam pelaksanaan tarawih setiap harinya, yang dibaca kurang lebih sebanya 1,5 juz. Kami yang sebelumnya saja tak terbiasa melaksanakan shalat tarawih dengan pembacaan 1 juz, kali ini harus mengikuti tradisi ini. Berita baiknya, meskipun ”jumlah” yang dibaca sekitar 1,5 juz, tapi pembacaan dilakukan secara cepat. Entu tanpa mengabaikan kaidah tajwid dan tartil yang harus dipenuhi.
Lama-kelamaan kami mulai terbiasa dengan ”prosesi” tarawih ini. Ternyata, kami kembali harus terkaget menjelang hari ke-20 bulan Ramadhan. Kami baru tahu bahwa setelah tanggal 20 Ramadhan, ketika para santri sudah mulai banyak yang pulang, tarawih dilaksanakan dengan target khataman pembacaan al-Qur’an tiap empat hari sekali. Artinya dalam satu kali ”prosesi” tarawih di tiap malam, dibaca sebanyak kurang lebih 7,5 juz al-Qur’an. Hal ini jujur saja cukup menggelisahkan. Pasalnya, sebelumnya kami berencana akan pulang dari pondok baru pada tanggal 23-25 Ramadhan. Untungnya, kami kemudian diberitahu salah seorang pengurus pondok, bahwa karena hari-hari setelah 20 Ramadhan sudah dianggap hari libur, para santri yang masih ada di pondok tidak diharuskan mengikuti tarawih di situ. Mereka diperbolehkan mengikuti tarawih yang  lebih singkat, yang diadakan masjid-masjid di sekitar pondok.
Meskipun selanjutnya kami benar-benar tidak mengikuti ”ritual tarawih 7,5 juz” itu, saya cukup mengamati pelaksanaannya, sehingga bisa cukup menggambarkannya di sini.
Karena peosesi ini pasti cukup melelahkan dan menguras tenaga, imam yang memimpin tarawih biasanya bergantian tiap beberapa rakaat sekali. Selain itu, karena setelah al-Fatihah, ayat-ayat yang dibaca pasti cukup banyak, para makmum biasanya tidak langsung takbir mengikuti imam setelah menyelesaikan dua rakaat. Mereka biasanya istirahat dulu sambil minum-minum atau bahkan sambil merokok. Mereka baru akan takbiratul ihram menjelang imam akan rukuk setelah sebelumnya membaca berlembar-lembar ayat al-Qur’an yang mereka hafal. Tak jarang, makmum juga melaksanakan shalat dengan duduk, karena tentu cukup melelahkan jika berdiri sambil menyimak bacaan imam yang berlembar-lembar itu pada tiap rakaatnya. (dalam literatur fiqh klasik yang dipelajari di pesantren, shalat sunnah memang boleh dilaksanakan dengan berdiri, meskipun tidak ada udzur syar’i seperti kelumpuhan atau penyakit yang menyebabkan seseorang tak mungkin untuk untuk berdiri lama-lama)
Pelaksanaan shalat tarawih ini biasanya baru berakhir pada pukul 10 sampai 10.30 malam.
Sampai sekarang, saya hampir tak menemukan lagi ”tarawih-tarawih unik” seperti yang saya jelaskan tadi. Menjelang memasuki tahun ketiga kuliah saya saat ini, di tengan lingkungan urban dengan ritual-ritualnya yang terbilang ”kering” dan ”hambar”, tradisi-tradisi nyentrik seperti itu kadang memang bikin kangen dan patut dikenang.
Ini pengalaman tarawihku, bagaimana pengalaman tarawihmu?

1 komentar:

  1. (dalam literatur fiqh klasik yang dipelajari di pesantren, shalat sunnah memang boleh dilaksanakan dengan berdiri, meskipun tidak ada udzur syar’i seperti kelumpuhan atau penyakit yang menyebabkan seseorang tak mungkin untuk untuk berdiri lama-lama)

    ~mungkin yg dimaksud adalah "shalat sunnah memang boleh dilaksanakan dengan duduk" kali yaa.. :)

    BalasHapus