Selain menjadi bulan puasa, Ramadhan juga dikenal dengan
sebutan ”syahrul qur’an” alias bulan al-Qur’an. Dalam bulan ini, wahyu
Tuhan yang kemudian menjadi kitab suci ini pertama kali diturunkan dan
disampaikan kepada sosok yang bertugas sebagai perantara penyampai wahyu Tuhan
ini kepada umat manusia, Muhammad SAW. Al-Quran sendiri dalam Surat al-Baqarah
ayat 185 dengan jelas menyatakan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan
diturunkannya al-Qur’an. Meskipun ada banyak spekulasi terkait pada tanggal
berapa pertama kali Muhammad SAW menerima wahyu pertama (yang menurut narasi mainstream,
di Gua Hira), namun kebanyakan kalangan menganggap tanggal 17 Ramadhan adalah
tanggal pertama kali al-Qur’an diturunkan. Tanggal ini kemudian sering
diperingati, khususnya di Indonesia, sebagai Hari Nuzulul Qur’an.
Oke, paragraf di atas mungkin klise. Anda bisa mendengar
hal itu hampir di berbagai kultum, ceramah, atau apalah itu, di hampir setiap
Ramadhan. Saya menuliskan hal itu semata-mata sebagai latar belakang. Karena
Ramadhan dianggap sebagai ”Bulan al-Qur’an”, berbondong-bondong orang
berlomba-lomba untuk mengkhatamkan al-Qur’an, bahkan sampai beberapa kali. Hal
ini semakin didorong motivasi bahwa segala ibadah yang dikerjakan pada bulan
ini juga akan diganjar dengan pahala berlipat dibanding pada bulan lain. Selain
itu, rutinitas yang tidak begitu padat sebagaimana pada hari biasa juga
menyediakan kesempatan bagi mereka yang hendak menjalani aktivitas ini.
Ketika banyak orang begitu bersemangat mengkhatamkan
al-Qur’an, bahkan sampai beberapa kali, saya, jika ingatan saya tak silap,
tidak pernah sekalipun mengkhatamkan al-Qur’an di bulan Ramadhan, atau bahkan
mempunyai keinginan untuk itu. Saya tak tahu apakah itu pantas dibanggakan atau
tidak. Ana boleh menghakimi saya, tapi saya puna pembenaran sendiri untuk hal
itu.
9 tahun di pesantren ternyata tidak berhasil mengubah
saya menjadi orang yang menggandrungi ritus. Ini agak wajar, saya kira.
Sepanjang pengalaman saya di pesantren, orang-orang yang tergolong rajin dalam
hal ritus individual memang terbilang sedikit. Tapi, jika saya melihat tradisi
keluarga saya, saya merasa benar-benar menjadi anomali. Betapa tidak. Di
keluarga saya, shalat Dhuha dan shalat Tahajjud saja seakan-akan sudah menjadi
kewajiban. Belum ritus-ritus sunnah fadhilah (utama) lainnya.
Tapi hal itu bukan semata-mata karena saya malas atau
semacamnya. Mungkin faktor itu ada dan mempengaruhi, tapi keengganan saya dalam
ibadah mahdhah (murni) non-wajib lebih dipengaruhi pandangan saya yang
esensialistik terhadap ritus formal. Saya cuma berpikir begini, bukankah segala
aktivitas yang baik mempunyai nilai ibadah? Bukankah Allah juga bukan seorang
birokratis yang melulu mendikotomikan ibadah mahdhah dan tidak? Bukankah
esensi agama justru ada dalam kehidupan sehari-hari dan bukan cuma dalam ritus
formal?
Alih-alih mengkhatamkan al-Qur’an, beberapa tahun
terakhir, terutama semenjak saya duduk di bangku kuliah, saya justru selalu
menargetkan mengkhatamkan, atau setidaknya, mencicil untuk mengkhatamkan
(beberapa) buku untuk mengisi bulan Ramadhan. Kebetulan, Ramadhan selalu
bertepatan dengan agenda libur semester genap. Karena itu, saya punya cukup
banyak waktu luang untuk membaca buku yang selama ini bahkan mungkin belum
sempat saya ”sentuh”.
Pada Ramadhan tahun kemarin, saya bisa mengkhatamkan
beberapa jilid dari ”kuartet Buru”-nya Pramoedya. Tahun ini, mulanya saya ingin
mengkhatamkan Mengislamkan Jawa-nya Ricklefs. Tapi di tengah jalan, saya
merasa harus mengkhatamkan The Religion of Java-nya Geertz terlebih
dahulu sebagai pengantar buku Ricklefs tadi.