Rabu, 08 Juli 2015

Ramadhan, al-Qur’an, dan Saya



Selain menjadi bulan puasa, Ramadhan juga dikenal dengan sebutan ”syahrul qur’an” alias bulan al-Qur’an. Dalam bulan ini, wahyu Tuhan yang kemudian menjadi kitab suci ini pertama kali diturunkan dan disampaikan kepada sosok yang bertugas sebagai perantara penyampai wahyu Tuhan ini kepada umat manusia, Muhammad SAW. Al-Quran sendiri dalam Surat al-Baqarah ayat 185 dengan jelas menyatakan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya al-Qur’an. Meskipun ada banyak spekulasi terkait pada tanggal berapa pertama kali Muhammad SAW menerima wahyu pertama (yang menurut narasi mainstream, di Gua Hira), namun kebanyakan kalangan menganggap tanggal 17 Ramadhan adalah tanggal pertama kali al-Qur’an diturunkan. Tanggal ini kemudian sering diperingati, khususnya di Indonesia, sebagai Hari Nuzulul Qur’an.
Oke, paragraf di atas mungkin klise. Anda bisa mendengar hal itu hampir di berbagai kultum, ceramah, atau apalah itu, di hampir setiap Ramadhan. Saya menuliskan hal itu semata-mata sebagai latar belakang. Karena Ramadhan dianggap sebagai ”Bulan al-Qur’an”, berbondong-bondong orang berlomba-lomba untuk mengkhatamkan al-Qur’an, bahkan sampai beberapa kali. Hal ini semakin didorong motivasi bahwa segala ibadah yang dikerjakan pada bulan ini juga akan diganjar dengan pahala berlipat dibanding pada bulan lain. Selain itu, rutinitas yang tidak begitu padat sebagaimana pada hari biasa juga menyediakan kesempatan bagi mereka yang hendak menjalani aktivitas ini.
Ketika banyak orang begitu bersemangat mengkhatamkan al-Qur’an, bahkan sampai beberapa kali, saya, jika ingatan saya tak silap, tidak pernah sekalipun mengkhatamkan al-Qur’an di bulan Ramadhan, atau bahkan mempunyai keinginan untuk itu. Saya tak tahu apakah itu pantas dibanggakan atau tidak. Ana boleh menghakimi saya, tapi saya puna pembenaran sendiri untuk hal itu.
9 tahun di pesantren ternyata tidak berhasil mengubah saya menjadi orang yang menggandrungi ritus. Ini agak wajar, saya kira. Sepanjang pengalaman saya di pesantren, orang-orang yang tergolong rajin dalam hal ritus individual memang terbilang sedikit. Tapi, jika saya melihat tradisi keluarga saya, saya merasa benar-benar menjadi anomali. Betapa tidak. Di keluarga saya, shalat Dhuha dan shalat Tahajjud saja seakan-akan sudah menjadi kewajiban. Belum ritus-ritus sunnah fadhilah (utama) lainnya.
Tapi hal itu bukan semata-mata karena saya malas atau semacamnya. Mungkin faktor itu ada dan mempengaruhi, tapi keengganan saya dalam ibadah mahdhah (murni) non-wajib lebih dipengaruhi pandangan saya yang esensialistik terhadap ritus formal. Saya cuma berpikir begini, bukankah segala aktivitas yang baik mempunyai nilai ibadah? Bukankah Allah juga bukan seorang birokratis yang melulu mendikotomikan ibadah mahdhah dan tidak? Bukankah esensi agama justru ada dalam kehidupan sehari-hari dan bukan cuma dalam ritus formal?
Alih-alih mengkhatamkan al-Qur’an, beberapa tahun terakhir, terutama semenjak saya duduk di bangku kuliah, saya justru selalu menargetkan mengkhatamkan, atau setidaknya, mencicil untuk mengkhatamkan (beberapa) buku untuk mengisi bulan Ramadhan. Kebetulan, Ramadhan selalu bertepatan dengan agenda libur semester genap. Karena itu, saya punya cukup banyak waktu luang untuk membaca buku yang selama ini bahkan mungkin belum sempat saya ”sentuh”.
Pada Ramadhan tahun kemarin, saya bisa mengkhatamkan beberapa jilid dari ”kuartet Buru”-nya Pramoedya. Tahun ini, mulanya saya ingin mengkhatamkan Mengislamkan Jawa-nya Ricklefs. Tapi di tengah jalan, saya merasa harus mengkhatamkan The Religion of Java-nya Geertz terlebih dahulu sebagai pengantar buku Ricklefs tadi.