Rabu, 24 Juni 2015

Ramadhan dalam Tradisi Pesantren



Sebagai bentuk lembaga pendidikan Islam yang unik, khas, dan bahkan mungkin tertua di Indonesia, pesantren juga punya tradisinya sendiri—yang unik dan khas—dalam bulan Ramadhan. Sebagaimana sudah disinggung pada tulisan sebelumnya, setidaknya bisa kita klasifikasikan dua jenis pesantren yang berbeda ”perlakuannya” dalam ”menyikapi” bulan Ramadhan. Pembagian ini sama sekali tidak berhubungan dengan aliran keagamaan yang dikembangkan suatu pesantren—apakah modernis atau tradisionalis—, melainkan sistem pendidikan yang diadopsi dan diterapkan di pesantren itu sendiri.
Di banyak pesantren salaf yang tidak mengadopsi sistem pendidikan formal, sebagaimana dalam tulisan sebelumnya, Ramadhan memang menjadi momentum libur akhir tahun pelajaran. Artinya, selama sebulan penuh kegiatan pondok resmi diliburkan, sehingga tidak ada ikatan kewajiban apapun yang mengharuskan mereka tetap tinggal di pondok. Sementara itu, pesantren-pesantren yang terintegrasi dengan institusi pendidikan ”resmi”, biasanya tidak meliburkan santrinya selama sebulan penuh, karena mengikuti kalender akademik sekolah formal pada umumnya.
Di pesantren model pertama, para santrinya setidaknya mempunyai tiga pilihan untuk mengisi waktu di bulan Ramadhan. Pertama, pulang ke kampung halaman masing-masing dan menjalani ritus puasa di rumah. Dengan memilih opsi ini, berarti santri terbebas dari ikatan akademis apapun dari pesantrennya, dan bebas mengatur serta menjalani aktivitasnya sendiri di tempat tinggal masing-masing. Terserah ia mau tidur-tiduran saja setiap hari selama sebulan penuh atau mungkin membantu mengisi kegiatan keagamaan di lingkungan sekitarnya.
Pilihan kedua, tetap tinggal di pondok dan mengikuti kegiatan posonan yang diadakan pesantren-nya, dan pilihan ketiga, datang ke pesantren lain dan menjalani mondok posonan di pesantren tersebut. Di beberapa pesantren, pihak pondok juga ada yang mengirimkan santri-santrinya selama Ramadhan ke daerah lain yang masyarakatnya dianggap masih ”abangan” atau setidaknya belum tersentuh atau didatangi pendakwah yang bisa membimbing mereka menjalani ritual agama dan mengajarkan mereka materi keagamaan secara komprehensif. Kegiatan ini sebenarnya sangat mirip dengan kuliah kerja nyata (KKN) yang kita kenal di perguruan tinggi. Di beberapa pesantren di Jawa Timur, pada umumnya santri-santri ini dikirim ke ceruk-ceruk Tengger di Bromo atau daerah pelosok lain, seperti pedalaman Trenggalek.
O ya. Sepertinya saya harus menggambarkan apa itu posonan atau mondok posonan. Secara sederhana, seperti ditunjukkan oleh kata-kata penyusunnya sendiri, mondok posonan berarti kegiatan mondok (mondok itu sendiri sebenarnya kurang tepat disebut sebagai sebuah kegiatan. Ia hanya berarti bertempat tinggal tinggal di pondok. Kata ini dirujuk untuk menggambarkan keadaan bertempat tinggal di pondok dan totalitas kegiatan yang harus dijalani seorang santri selama tinggal di sana) selama dan sambil menjalani ibadah puasa Ramadhan. Di pesantren-pesantren model pertama dalam pembagian di awal, karena para santrinya secara formal diliburkan selama Ramadhan, pihak pesantren biasanya membuka kegiatan khusus selama bulan Ramadhan. Kegiatan khusus ini kemudian sering disebut ”pasan” atau ”posonan” dan santri yang menjalaninya disebut sedang ”mondok posonan”.
Tradisi ”pasan” dan ”mondok posonan” ini sudah berlangsung sangat lama. Sejak dahulu.
Meskipun hampir semua pesantren salaf mengadakan kegiatan posonan, tak begitu banyak santri yang mengikuti posonan di pondoknya sendiri. Momentum Ramadhan ini biasanya justru dimanfaatkan para santri untuk menimba ilmu dan menambah pengalaman baru dengan posonan di pesantren lain. Tanpa kesengajaan dan dengan unsur yang begitu alamiah, sering sekali, terjadi apa yang dalam dunia modern sering disebut student exchange alias pertukaran pelajar dalam momen ini. Misalnya, ada santri yang sehari-harinya mondok di Lirboyo tapi mengikuti kegiatan posonan di Sarang, Rembang. Sebalik-nya, ada juga santri Sarang yang mengikuti posonan di Lirboyo. Itu Cuma satu contoh saja. Pada kenyatannya, yang terjadi adalah perputaran dan pertukaran santri dengan komposisi yang jauh lebih ruwet nan kompleks.
Itu baru satu elemen ”peserta” kegiatan posonan di pesantren-pesantren salaf. Selain santri-santri aktif yang berasal dari berbagai pesantren, tak jarang kegiatan posonan juga diikuti oleh alumni-alumni pesantren dan masyarakat umum yang sebagian di antaranya bahkan sudah berumah tangga dan berusia mulai dari kepala tiga sampai sekitar paruh baya. Terkadang, bahkan ada pula kalangan sepuh yang juga ikut posonan. Tak ada perlakuan khusus dan segregasi bagi masing-masing mereka. Semua berkumpul dan menyatu tanpa ada kehendak untuk lebih dihormati dan diistimewakan. Menarik, bukan?
Saya bukan seorang chauvinis pesantren, tapi dalam hal ini harus diakui, pesantren, apalagi ketika Ramadhan, menampilkan kelebihannya yang hampir tidak dijumpai di lembaga pendidikan lainnya. Ia mempertemukan manusia-manusia dari berbagai latar belakang yang sangat beragam, yang dipersatukan oleh satu tujuan: menimba ilmu (agama). Pernah, saya justru berpikir, yang paling utama dari posonan yang diadakan pesantren-pesantren (selain kegiatan ngaji kitabnya atau fungsi ngalap barakahnya) justru adalah ketika mereka-mereka yang berasal dari berbagai daerah dan latar belakang bertemu dan berbagi khazanah pengalamannya satu sama lain, kemudian membawa kenangan dan pengalaman itu masing-masing sekembalinya mereka dari posonan.
Selama dua kali mondok posonan, saya pernah satu kamar dengan santri ”asli” pondok yang saya tempati, santri dari pesantren luar—sebagaimana kami, saya dan teman-teman saya—, alumni dari pesantren tersebut, dan seorang bapak muda yang berusia sekitar kepala tiga atau kepala empat. Saya selalu menikmati momen dimana setelah selesai ngaji ba’da tarawih, kami keluar bersama-sama menuju angkringan, dan kemudian mengobrol ngalor-ngidul di sana. Tentu kami sebelumnya tak pernah menyangka akan mendapat pelajaran dan mendengar pengalaman kehidupan rumah tangga dari seseorang yang melakoninya langsung secara empiris. Juga banyak pelajaran (hidup) dan pengalaman menarik lain dari teman-teman lain. Ketika mengingat-ingat lagi momen tersebut, saya berpikir, mungkin sulit bagi saya untuk mendapati hal-hal itu jika bukan karena mondok posonan.
Dalam sejarahnya, tradisi posonan di pesantren-pesantren ini juga melahirkan fragmen-fragmen yang patut dikenang dari tokoh-tokoh besar. Salah satu yang paling monumental mungkin ini:
Alkisah, di bulan Ramadhan pada suatu tahun, seperti biasanya, pesantren milik Hadatus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari mengadakan kegiatan ngaji khataman Shahih Bukhari-Muslim. Kegiatan ini diampu langsung oleh Hadratus Syaikh. Konon, pengajian ini sangat menarik perhatian ummat saat itu. Pada bulan Ramadhan, berbondong-bondong orang dari berbagai penjuru, terutama Pulau Jawa, datang ke Tebuireng dan mengikuti pengajian Hadratus Syaikh. Suatu ketika, entah bagaimana, Hadratus Syaikh mengetahui bahwa Kyai Mohammad Kholil (di berbagai pesantren, beliau juga sering disebut Syaikhana Kholil Bangkalan atau Mbah Kholil Bangkalan) turut mengikuti pengajian yang beliau ampu. Singkat cerita, beliau mendatangi Kyai Kholil dan bertanya, kenapa Kyai Kholil mengikuti pengajian yang beliau ampu, padahal Kyai Kholil adalah guru beliau dan ulama-ulama lain di seantero Jawa.
(Mbah Kholil memang adalah guru Hadratus Syaikh sebelum yang disebut terakhir ini belajar ke Makkah dan dikenal sebagai ahli hadits sepulangnya ke Jawa. Konon, beliau bahkan hafal hadits-hadits yang ada di Shahih Bukhari & Shahih Muslim. Sementara itu, Mbah Kholil juga dikenal sebagai guru dari ulama-ulama di Jawa saat itu. Hampir semua ulama besar di Jawa mempunyai sanad keilmuan yang menyambung pada Kyai Kholil. Sosok ini bukan hanya dianggap ulama yang mendalam keilmuannya [dalam bahasa pesantren: tabahhur atau nyegoro. Maksudnya, keilmuannya dianggap seperti segoro/lautan/samudera yang luas dalam], tapi juga seorang wali besar dengan maqam [tingkatan] yang tinggi. Cukup banyak cerita yang beredar seputar karamah-karamah beliau. Beliau pun dikenang sebagai seorang yang memperkenalkan penggunaan Alfiyyah Ibn Malik untuk mempelajari gramatika bahasa Arab secara luas, yang bertahan sampai sekarang)
Dengan penuh ke-tawadhu’-an dan kerendahan hati, Syaikhana Kholil hanya menjawab bahwa beliau sudah bertekad untuk berguru, belajar, dan menyerap ilmu dari KH. Hasyim Asy’ari.[1]


Khataman ketika posonan

Selain waktunya yang khusus, kegiatan pembelajaran, literatur yang dikaji, dan metode pembelajaran yang ada selama posonan juga berbeda dengan hari-hari biasanya. Jika pada hari-hari biasa, para santri pondok salaf mengkaji isi literatur klasik babon nan tebal secara aktif dengan cara mendiskusikannya dalam forum-forum (yang disebut) musyawarah, muhadharah, dll, yang ada setiap harinya (biasanya pada waktu malam), dalam konteks posonan, para santri biasanya ”hanya” mengaji secara pasif (hanya mendengarkan keterangan guru) kitab-kitab yang lebih tipis, yang kira-kira bisa dikhatamkan selama sebulan. Di banyak pesantren salaf, ketika posonan ada 5-7 kali waktu pengajian setiap harinya.
Biasanya, kegiatan ngaji dilaksanakan setelah Shubuh, kemudian pada waktu Dluha (sekitar jam 8-9 atau 10-11, atau keduanya), setelah Dzuhur, setelah Ashar, setelah Tarawih, dan ada beberapa pesantren yang mengadakan ngaji lagi pada sekitar jam 9-an malam. Dalam tiap waktu, masih ada lagi beberapa pengajian yang ada. Misalnya, setelah tarawih ada pengajian kitab Qurratul ’Uyun di Aula I yang diampu oleh Gus A. Di waktu yang sama ada juga pengajian ’Uqudul Lujain di Aula II yang diampu oleh Gus B. Begitu juga yang terjadi di waktu-waktu lain. Para santri dipersilahkan memilih salah satu pengajian di tiap  waktunya.
Pada umumnya, semua ngaji tersebut sifatnya memang pilihan. Bahkan ketika anda mendaftar posonan di suatu pesantren dan membayar administrasinya, kemudian anda tidak mengikuti satu pun kegiatan ngaji yang anda, itu pun tak masalah. Ketika Ramadhan, memang hampir tidak ada kegiatan yang wajib diikuti semua santri sehingga membutuhkan pengawasan pengurus pondok. Pada waktu seperti ini, yang diandalkan memang kesadaran dan kemauan masing-masing orang dalam mengikuti kegiatan yang dipilihnya.
Di beberapa pesantren, selain pengajian literatur-literatur tipis yang berbeda setiap waktunya, ada juga program pengajian untuk mengkhatamkan kitab yang lebih tebal, seperti Ihya Ulumiddin, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dll. Waktu pengajian pada program ini sama seperti waktu pengajian lainnya, antara 5-7 kali setiap hari. Bedanya, pada program ini, yang dikaji setiap waktunya adalah kitab yang sama, untuk mengejar target khataman kitab-kitab tebal tersebut.
Pengajian yang dilakukan pada bulan Ramadhan, hampir di semua pesantren, lebih mengutamakan aspek ngalap barakah dibanding aspek lain, seperti pendalaman materi. Seorang guru yang mengajar ngaji posonan biasanya hanya membaca teks kitab yang ”dipelajari” dan memaknainya (aktivitas memaknai ini lebih dikenal dengan sebutan ”maknani”) dalam bahasa Jawa. Jarang sekali sang guru menjelaskan apa yang terkandung dalam bagian literatur yang dibacakannya. Kalaupun memberi keterangan, sang guru biasanya hanya memberi keterangan singkat yang tak memakan banyak waktu. Karena motif utama dalam pengajian ini adalah tabarrukan alias ngalap barakah, mengkhatamkan literatur yang ”dipelajari” menjadi lebih diutamakan. Dalam mengaji kitab-kitab yang tebal, terkadang bisa dibacakan sampai 30 halaman dalam sekali pengajian, dengan kecepatan maknani yang super cepat. Kalau anda lengah atau ngantuk sedikit saja, anda akan keulitan mencari bagian yang sedang dibacakan oleh guru tersebut.


Ramadhan ala Santri-Pelajar

Sebagaimana sudah disinggung di awal tulisan, dan di tulisan sebelumnya, pesantren-pesantren yang terintegrasi dengan institusi pendidikan ”resmi” biasanya tidak meliburkan santrinya selama sebulan penuh, karena santri pesantren ini, selain santri juga adalah ”pelajar” sekolah formal, sehingga  harus mengikuti kalender akademik pada umumnya. Pasti ada yang berbeda dari pesantren ini dengan pesantren model sebelumnya dalam hal kegiatan di bulan Ramadhan. Tentu tidak ada pengajian sebanyak 5-7 kali di pesantren seperti ini. Juga segenap perbedaan lainnya.
Namun, selain perbedaan, tentu juga ada persamaan yang bisa ditarik antara pesantren model ini dengan pesantren model pertama. Secara umum, pola-pola utama kegiatan Ramadhan pesantren ini tidak berbeda jauh dengan pesantren ”non-formal”. Pengajian-pengajian yang diadakan menekankan pada aspek tabarrukan, sehingga mengutamakan khataman kitab dibanding pendalaman materi. Kitab-kitab yang ”dipelajari” pun kebanyakan kitab-kitab tak terlalu tebal, yang bisa khatam dalam waktu sebulan. (sebenarnya tidak sebulan penuh, karena di beberapa hari terakhir Ramadhan, para santri diliburkan dan diberi kesempatan pulang ke kampung halaman).
Selain jadwal, kegiatan, dan literatur yang berbeda pada bulan Ramadhan, hampir tak ada suasana yang berbeda di pesantren seperti ini, antara Ramadhan dan hari-hari biasa. Mereka yang menjalani kegiatan di bulan Ramadhan adalah mereka yang juga mondok di situ pada hari-hari biasa. Hampir tak ada arus migrasi atau ”pertukaran pelajar” di pesantren seperti ini pada bulan Ramadhan. Yang paling berkesan ketika bulan puasa bagi pesantren seperti ini, mungkin adalah aturan yang ”melonggar” dan kebebasan yang kadang mereka idam-idamkan. Ketika mereka bebas main PS di luar. Ketika mereka bisa bolos ngaji tanpa takut ta’zir (sanksi). Ketika mereka bisa main poker di kamar sampai dini hari, bahkan sampai menjelang sahur, tanpa takut ketahuan dan disemprot pengurus pondok. Bukankah bagi remaja pelajar semacam mereka (dan saya, pada waktu itu), hal-hal itu yang kadang kelak akan selalu dikenang?



Istilah “Tradisi Pesantren” di judul, saya ambil dari judul buku Zamakhsyari Dhofier yang cukup terkenal, “Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai”, yang pertama kali diterbitkan LP3ES pada 1982. Buku ini sendiri merupakan terjemahan dari desertasinya di departemen Antropologi Sosiologi Australian National University (ANU) pada tahun 1980.

[1]  Cerita ini cukup terkenal dan beredar luas di kalangan pesantren. Yang saya tulis ini berdasarkan keterangan lisan dari berbagai sumber. Penggambaran situasi dan dialog sama sekali tidak bermaksud mendramatisir.

Kamis, 18 Juni 2015

Tarawih



Sebagaimana di berbagai lingkungan lainnya, Ramadhan selalu membawa suasana yang berbeda di pesantren, yang berbeda dari hari-hari biasanya. Di banyak pesantren salaf yang tidak mengadopsi sistem pendidikan formal, biasanya sistem penanggalan Hijriyyah masih digunakan sebagai acuan kalender akademik mereka. Di pesantren model ini, pada umumnya Ramadhan menjadi momentum libur akhir tahun pelajaran, karena kalender akademik dimulai dari bulan Syawwal sampai bulan Rajab atau Sya’ban. Sementara itu, pesantren-pesantren lain yang terintegrasi dengan institusi pendidikan ”resmi”, biasanya tidak meliburkan santrinya selama sebulan penuh, karena mengikuti kalender akademik di institusi pendidikan lain pada umumnya. Namun, meski begitu, biasanya ada ritus dan jadwal khusus, serta ”pelonggaran” aturan selama Ramadhan.
Bertahun-tahun saya merasakan sendiri apa yang disebutkan terakhir, karena pesantren saya memang ”menampung” ”santri” yang juga sekaligus ”pelajar”. Pada bulan Ramadhan, beberapa hal yang biasanya dikenakan ta’zir (sanksi) apabila dilakukan, seperti bermain PS, membawa ponsel, dll, cenderung dtolerir. Bahkan, pemantauan ketat pengurus pondok terhadap santri dalam hal kehadiran pada kegiatan ngaji kitab juga melonggar. Ngaji ya monggo, ora ya karepmu, begitu kira-kira. Pada pesantren seperti ini, Ramadhan memang berada di posisi antara, setengah libur dan setengah tidak. Namun, selain itu, aspek kesadaran sepertinya juga hendak ditekankan oleh policy maker di pesantren, agar santri dalam melakukan kegiatannya tidak melulu dan semata didorong oleh ancaman ta’zir, namun juga dari kesadarannya sendiri. Sampai tahap tertentu, tujuan ini cukup berhasil. Nyatanya, suasana dan kegiatan Ramadhan di pesantren tetap marak.
Salah satu aturan yang setengah-setengah (artinya, aturan itu ada, tapi pemantauan dan penegakan aturan itu hampir ol) itu, di pesantren saya adalah kewajiban shalat tarawih di pondok. Meskipun aturan ini ada, tapi kebanyakan santri lebih memilih shalat tarawih di masjid-masjid di luar pondok, dengan berbagai motif. Ada yang memang karena ingin mencari masjid dengan tarawih yang lebih cepat selesai, ada yang karena ingin mencari suasana baru di tengah masyarakat di luar pondok. Saya termasuk golongan ini, lengkap dengan dua motif tersebut. Saat itu, jalan pikiran saya sederhana saja. Bukankah ini kesempatan yang baik untuk berbaur dengan dan di tengah masyarakat. Bukankah sebagai bagian yang kelak akan terjun di masyarakat, harusnya seorang santri tidak teralienasi dari kehidupan masyarakat sekitarnya. Juga beberapa argumen semacam itu.
Meskipun pada momentum Ramadhan ini, kami—saya dan beberapa orang teman—sering berkeliling menunaikan shalat Tarawaih di masjid-masjid sekitar pondok secara bergiliran, kami menemukan bahwa corak kebanyakan tarawih di berbagai masjid yang kami singgahi memang sama. Biasanya, surat pendek yang dibaca sesudah al-Fatihah pada rakaat pertama tiap-tiap shalat dimulai dari at-Takatsur pada shalat yang pertama, sampai al-Lahab pada shalat yang ke-10 (artinya pada shalat yang terdiri dari rakaat 19 & 20, karena tiap shalat terdiri dari dua rakaat), sedangkan yang dibaca pada rakaat kedua tiap shalat hampir pasti adalah al-Ikhlas.
Memang, ada beberapa masjid yang tidak seperti ini. Kebetulan, kota tempat saya mondok (Kudus) memang terkenal dengan pondok Qur’an-nya. Karenanya, di beberapa masjid dilaksanakan metode khataman dalam tarawih. Maksudnya, karena pada umumnya dalam satu bulan Ramadhan ada 30 kali tarawih (sesuai dengan jumlah hari dalam bulan ini), dan kebetulan al-Qur’an juga terdiri dari 30 juz, maka tiap satu kali prosesi tarawih yang terdiri dari 20 rakaat, diusahakan dibaca 1 juz. Ayat-ayat al-Quran dalam satu juz ini dibaca sesudah al-Fatihah, sebagian-demi sebagian. Yang jelas, tiap kali selesai 20 rakaat, harus sudah terbaca 1 juz.
 Sayangnya, kami—saya dan beberapa teman—termasuk orang yang tak sabaran kalau musti ikut tarawih model begini. Karena itu, ketika lama-kelamaan kami merasa bosan dengan tarawih yang ”gitu-gitu saja” di berbagai masjid yang kami singgahi,kami memutuskan mengambil jalan ”subversif”: membikin tarawih tandingan di pndok. Alih-alih mengikuti tarawih ”resmi” dari pondok yang dilaksanakan di aula dan diimami seorang guru, kami membuat tarawih sendiri di kamar. Alasannya simpel: tarawih ”resmi” dari pondok sama saja dengan berbagai tarawih yang kami temui di luar pondok, terlalu standar dan dengan kecepatan rata-rata. Bacaannya pun juga standar.
Dalam ritus tarawih yang kami bikin sendiri di kamar, kemi berusaha memodifikasi beberapa hal yang biasa menjadi sesuai selera kami. Tentu kami tak mungkin memodifikasi tata cara, syarat, dan rukun shalat itu sendiri, yang sudah dianggap baku dan paripurna. Kami cuma mengubah beberapa bagian yang sudah terlalu mainstream menjadi agak sedikit beda. Yang paling kentara, adalah surat-surat yang kami baca setelah al-Fatihah. Jika di masjid-masjid pada umumnya dibaca surat-surat pendek atau bacaan Qur’an satu juz, setelah al-Fatihah kami hanya membaca ayat-ayat super pendek yang menjadi permulaan beberapa surat dalam al-Qur’an, seperti nun, alif lam mim, alif lam ra, kaf ha ya ’ain shad, yasin, dll. Praktis, tarawih kami pun menjadi begitu cepat. Mungkin amat cepat.
Kebiasaan tersebut bertahan bertahun-tahun sejak saya kelas satu sampai saya kelas tiga ’Aliyah. Pada tahun terakhir saya di pondok, saat saya kelas tiga ’Aliyah, saya mempunyai keinginan untuk melakukan hal-hal atau mengikuti kegiatan-kegiatan yang sebelumnya jarang saya lakukan atau ikuti, setidaknya untuk menambah kenangan selama saya mondok. Pada Ramadhan tahun itu, saya kembali ingin berkeliling ke masjid-masjid di sekitar pondok untuk menunaikan tarawih. Semacam keinginan untuk menghayati detail-detail dan menapaktilasi tempat-tempat yang pernah dan masih bisa dikunjungi, namun akan segera ditinggalkan.
Saya masih ingat sekali, beberapa hari sebelum tarawih terakhir di bulan Ramadhan tahun itu, saya tersadar bahwa selama  empat tahun mondok di Kudus, saya belum pernah sekalipun shalat tarawih di Masjid Menara Kudus, sebuah masjid yang menjadi ikon Kota Kudus, yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari pondok saya. Pada tahun-tahun sebelumnya, masjid ini memang tak pernah masuk dalam daftar masjid yang ingin saya datangi untuk shalat tarawih. Pasalnya, masjid ini memang terkenal dengan tarawihnya yang cukup lama. Lebih lama dibanding masjid-masjid lain di sekitar pondok saya. Masjid ini memang menerapkan pembacaan satu juz al-Qur’an dalam satu kali ”prosesi” tarawih pada tiap malam. Pembacaannya pun dilakukan dengan lambat-lambat.
Akhirnya, pada waktu itu saya bertekad, saya harus mendatangi masjid itu paling tidak pada kesempatan terakhir tarawih di bulan Ramadhan tahun itu. Alhamdulillah, tekad saya terlaksana. Meskipun harus cukup bersabar karena saya sama sekali tidak terbiasa mengikuti ”prosesi” tarawih yang cukup lama, ada semacam beban yang terangkat. Juga ada rasa haru (ini mungkin agak lebay ya) karena saya akhirnya melaksanakan suatu hal yang karena cuma sekali, bisa menjadi bagian dar kenangan selama saya mondok di Kudus.
Satu tahun setelah itu, juga setelah tahun pertama kuliah saya, kebetulan Ramadhan jatuh berbarengan dengan libur semester genap. Saya dan beberapa teman pondok yang sudah berpisah satu sama lain, memutuskan untuk menghabiskan liburan itu bersama dengan mondok posonan (mondok yang dilakukan cuma pada bulan puasa. Bagian ini mungkin akan saya jelaskan dalam tulisan lain) di Krapyak, Yogyakarta. Selain karena saya memang punya mbak (mbak dalam pengertian sebenarnya. Sebagian kelas menengah ngehe kadang menggunakan kata ini untuk merujuk pada asisten rumah tangga yang berasal dari Jawa) di sana, kebetulan kami juga punya teman yang mondok di sana.
Pesantren yang secara resmi bernama Al-Munawwir, namun lebih dikenal dengan sebutan ”pesantren Krapyak” (di lingkungan muslim tradisionalis Jawa, apalagi kalangan santri, hampir tidak ada yang tidak mengenal pesantren ini) ini kebetulan adalah pesantren al-Qur’an. Artinya, program utama pesantren ini adalah mendidik santrinya dalam menghafal 30 juz al-Qur’an, selain pembelajaran kitab salaf yang diberikan sebagai tambahan. Kami yang berlatarbelakang pesantren kitab (yaitu pesantren yang menekankan pembelajaran kitab, mulai dari cara membaca dan memahami teks kitab, sampai menganalisa dan mendiskusikan isi kitab) dalam beberapa hal belum cukup akrab dengan tradisi pesantren ini, salah satunya dalam hal tarawih.
Di pesantren ini, sebagaimana di banyak pesantren al-Qur’an lainnya, ada target untuk mengkhatamkan al-Qur’an dalam ritual tarawih selama bulan Ramadhan. Bedanya, karena di pesantren ini biasanya santri-santri sudah diliburkan setelah tanggal 20 Ramadhan, maka batas waktu ”peng-khataman” Qur’an pun adalah 20 hari. Artinya dalam pelaksanaan tarawih setiap harinya, yang dibaca kurang lebih sebanya 1,5 juz. Kami yang sebelumnya saja tak terbiasa melaksanakan shalat tarawih dengan pembacaan 1 juz, kali ini harus mengikuti tradisi ini. Berita baiknya, meskipun ”jumlah” yang dibaca sekitar 1,5 juz, tapi pembacaan dilakukan secara cepat. Entu tanpa mengabaikan kaidah tajwid dan tartil yang harus dipenuhi.
Lama-kelamaan kami mulai terbiasa dengan ”prosesi” tarawih ini. Ternyata, kami kembali harus terkaget menjelang hari ke-20 bulan Ramadhan. Kami baru tahu bahwa setelah tanggal 20 Ramadhan, ketika para santri sudah mulai banyak yang pulang, tarawih dilaksanakan dengan target khataman pembacaan al-Qur’an tiap empat hari sekali. Artinya dalam satu kali ”prosesi” tarawih di tiap malam, dibaca sebanyak kurang lebih 7,5 juz al-Qur’an. Hal ini jujur saja cukup menggelisahkan. Pasalnya, sebelumnya kami berencana akan pulang dari pondok baru pada tanggal 23-25 Ramadhan. Untungnya, kami kemudian diberitahu salah seorang pengurus pondok, bahwa karena hari-hari setelah 20 Ramadhan sudah dianggap hari libur, para santri yang masih ada di pondok tidak diharuskan mengikuti tarawih di situ. Mereka diperbolehkan mengikuti tarawih yang  lebih singkat, yang diadakan masjid-masjid di sekitar pondok.
Meskipun selanjutnya kami benar-benar tidak mengikuti ”ritual tarawih 7,5 juz” itu, saya cukup mengamati pelaksanaannya, sehingga bisa cukup menggambarkannya di sini.
Karena peosesi ini pasti cukup melelahkan dan menguras tenaga, imam yang memimpin tarawih biasanya bergantian tiap beberapa rakaat sekali. Selain itu, karena setelah al-Fatihah, ayat-ayat yang dibaca pasti cukup banyak, para makmum biasanya tidak langsung takbir mengikuti imam setelah menyelesaikan dua rakaat. Mereka biasanya istirahat dulu sambil minum-minum atau bahkan sambil merokok. Mereka baru akan takbiratul ihram menjelang imam akan rukuk setelah sebelumnya membaca berlembar-lembar ayat al-Qur’an yang mereka hafal. Tak jarang, makmum juga melaksanakan shalat dengan duduk, karena tentu cukup melelahkan jika berdiri sambil menyimak bacaan imam yang berlembar-lembar itu pada tiap rakaatnya. (dalam literatur fiqh klasik yang dipelajari di pesantren, shalat sunnah memang boleh dilaksanakan dengan berdiri, meskipun tidak ada udzur syar’i seperti kelumpuhan atau penyakit yang menyebabkan seseorang tak mungkin untuk untuk berdiri lama-lama)
Pelaksanaan shalat tarawih ini biasanya baru berakhir pada pukul 10 sampai 10.30 malam.
Sampai sekarang, saya hampir tak menemukan lagi ”tarawih-tarawih unik” seperti yang saya jelaskan tadi. Menjelang memasuki tahun ketiga kuliah saya saat ini, di tengan lingkungan urban dengan ritual-ritualnya yang terbilang ”kering” dan ”hambar”, tradisi-tradisi nyentrik seperti itu kadang memang bikin kangen dan patut dikenang.
Ini pengalaman tarawihku, bagaimana pengalaman tarawihmu?