Sebagai bentuk lembaga pendidikan Islam yang unik, khas,
dan bahkan mungkin tertua di Indonesia, pesantren juga punya tradisinya
sendiri—yang unik dan khas—dalam bulan Ramadhan. Sebagaimana sudah disinggung
pada tulisan sebelumnya, setidaknya bisa kita klasifikasikan dua jenis
pesantren yang berbeda ”perlakuannya” dalam ”menyikapi” bulan Ramadhan.
Pembagian ini sama sekali tidak berhubungan dengan aliran keagamaan yang
dikembangkan suatu pesantren—apakah modernis atau tradisionalis—, melainkan
sistem pendidikan yang diadopsi dan diterapkan di pesantren itu sendiri.
Di banyak pesantren salaf yang tidak mengadopsi sistem
pendidikan formal, sebagaimana dalam tulisan sebelumnya, Ramadhan memang
menjadi momentum libur akhir tahun pelajaran. Artinya, selama sebulan penuh
kegiatan pondok resmi diliburkan, sehingga tidak ada ikatan kewajiban apapun
yang mengharuskan mereka tetap tinggal di pondok. Sementara itu,
pesantren-pesantren yang terintegrasi dengan institusi pendidikan ”resmi”,
biasanya tidak meliburkan santrinya selama sebulan penuh, karena mengikuti
kalender akademik sekolah formal pada umumnya.
Di pesantren model pertama, para santrinya setidaknya
mempunyai tiga pilihan untuk mengisi waktu di bulan Ramadhan. Pertama, pulang
ke kampung halaman masing-masing dan menjalani ritus puasa di rumah. Dengan
memilih opsi ini, berarti santri terbebas dari ikatan akademis apapun dari
pesantrennya, dan bebas mengatur serta menjalani aktivitasnya sendiri di tempat
tinggal masing-masing. Terserah ia mau tidur-tiduran saja setiap hari selama
sebulan penuh atau mungkin membantu mengisi kegiatan keagamaan di lingkungan
sekitarnya.
Pilihan kedua, tetap tinggal di pondok dan mengikuti
kegiatan posonan yang diadakan pesantren-nya, dan pilihan ketiga, datang
ke pesantren lain dan menjalani mondok posonan di pesantren tersebut. Di
beberapa pesantren, pihak pondok juga ada yang mengirimkan santri-santrinya
selama Ramadhan ke daerah lain yang masyarakatnya dianggap masih ”abangan” atau
setidaknya belum tersentuh atau didatangi pendakwah yang bisa membimbing mereka
menjalani ritual agama dan mengajarkan mereka materi keagamaan secara
komprehensif. Kegiatan ini sebenarnya sangat mirip dengan kuliah kerja nyata
(KKN) yang kita kenal di perguruan tinggi. Di beberapa pesantren di Jawa Timur,
pada umumnya santri-santri ini dikirim ke ceruk-ceruk Tengger di Bromo atau daerah
pelosok lain, seperti pedalaman Trenggalek.
O ya. Sepertinya saya harus menggambarkan apa itu posonan
atau mondok posonan. Secara sederhana, seperti ditunjukkan oleh
kata-kata penyusunnya sendiri, mondok posonan berarti kegiatan mondok
(mondok itu sendiri sebenarnya kurang tepat disebut sebagai sebuah
kegiatan. Ia hanya berarti bertempat tinggal tinggal di pondok. Kata ini
dirujuk untuk menggambarkan keadaan bertempat tinggal di pondok dan totalitas
kegiatan yang harus dijalani seorang santri selama tinggal di sana) selama dan
sambil menjalani ibadah puasa Ramadhan. Di pesantren-pesantren model pertama
dalam pembagian di awal, karena para santrinya secara formal diliburkan selama
Ramadhan, pihak pesantren biasanya membuka kegiatan khusus selama bulan
Ramadhan. Kegiatan khusus ini kemudian sering disebut ”pasan” atau ”posonan”
dan santri yang menjalaninya disebut sedang ”mondok posonan”.
Tradisi ”pasan” dan ”mondok posonan” ini
sudah berlangsung sangat lama. Sejak dahulu.
Meskipun hampir semua pesantren salaf mengadakan kegiatan
posonan, tak begitu banyak santri yang mengikuti posonan di
pondoknya sendiri. Momentum Ramadhan ini biasanya justru dimanfaatkan para
santri untuk menimba ilmu dan menambah pengalaman baru dengan posonan di
pesantren lain. Tanpa kesengajaan dan dengan unsur yang begitu alamiah, sering
sekali, terjadi apa yang dalam dunia modern sering disebut student exchange
alias pertukaran pelajar dalam momen ini. Misalnya, ada santri yang sehari-harinya
mondok di Lirboyo tapi mengikuti kegiatan posonan di Sarang,
Rembang. Sebalik-nya, ada juga santri Sarang yang mengikuti posonan di
Lirboyo. Itu Cuma satu contoh saja. Pada kenyatannya, yang terjadi adalah
perputaran dan pertukaran santri dengan komposisi yang jauh lebih ruwet
nan kompleks.
Itu baru satu elemen ”peserta” kegiatan posonan di
pesantren-pesantren salaf. Selain santri-santri aktif yang berasal dari
berbagai pesantren, tak jarang kegiatan posonan juga diikuti oleh
alumni-alumni pesantren dan masyarakat umum yang sebagian di antaranya bahkan
sudah berumah tangga dan berusia mulai dari kepala tiga sampai sekitar paruh
baya. Terkadang, bahkan ada pula kalangan sepuh yang juga ikut posonan. Tak
ada perlakuan khusus dan segregasi bagi masing-masing mereka. Semua berkumpul
dan menyatu tanpa ada kehendak untuk lebih dihormati dan diistimewakan.
Menarik, bukan?
Saya bukan seorang chauvinis pesantren, tapi dalam
hal ini harus diakui, pesantren, apalagi ketika Ramadhan, menampilkan
kelebihannya yang hampir tidak dijumpai di lembaga pendidikan lainnya. Ia mempertemukan
manusia-manusia dari berbagai latar belakang yang sangat beragam, yang dipersatukan
oleh satu tujuan: menimba ilmu (agama). Pernah, saya justru berpikir, yang
paling utama dari posonan yang diadakan pesantren-pesantren (selain
kegiatan ngaji kitabnya atau fungsi ngalap barakahnya) justru adalah ketika
mereka-mereka yang berasal dari berbagai daerah dan latar belakang bertemu dan
berbagi khazanah pengalamannya satu sama lain, kemudian membawa kenangan dan
pengalaman itu masing-masing sekembalinya mereka dari posonan.
Selama dua kali mondok posonan, saya pernah satu
kamar dengan santri ”asli” pondok yang saya tempati, santri dari pesantren
luar—sebagaimana kami, saya dan teman-teman saya—, alumni dari pesantren
tersebut, dan seorang bapak muda yang berusia sekitar kepala tiga atau kepala
empat. Saya selalu menikmati momen dimana setelah selesai ngaji ba’da tarawih,
kami keluar bersama-sama menuju angkringan, dan kemudian mengobrol ngalor-ngidul
di sana. Tentu kami sebelumnya tak pernah menyangka akan mendapat pelajaran dan
mendengar pengalaman kehidupan rumah tangga dari seseorang yang melakoninya
langsung secara empiris. Juga banyak pelajaran (hidup) dan pengalaman menarik lain
dari teman-teman lain. Ketika mengingat-ingat lagi momen tersebut, saya
berpikir, mungkin sulit bagi saya untuk mendapati hal-hal itu jika bukan karena
mondok posonan.
Dalam sejarahnya, tradisi posonan di
pesantren-pesantren ini juga melahirkan fragmen-fragmen yang patut dikenang
dari tokoh-tokoh besar. Salah satu yang paling monumental mungkin ini:
Alkisah, di bulan Ramadhan pada suatu tahun, seperti
biasanya, pesantren milik Hadatus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari mengadakan kegiatan
ngaji khataman Shahih Bukhari-Muslim. Kegiatan ini diampu langsung oleh
Hadratus Syaikh. Konon, pengajian ini sangat menarik perhatian ummat saat itu.
Pada bulan Ramadhan, berbondong-bondong orang dari berbagai penjuru, terutama
Pulau Jawa, datang ke Tebuireng dan mengikuti pengajian Hadratus Syaikh. Suatu
ketika, entah bagaimana, Hadratus Syaikh mengetahui bahwa Kyai Mohammad Kholil
(di berbagai pesantren, beliau juga sering disebut Syaikhana Kholil Bangkalan
atau Mbah Kholil Bangkalan) turut mengikuti pengajian yang beliau ampu. Singkat
cerita, beliau mendatangi Kyai Kholil dan bertanya, kenapa Kyai Kholil
mengikuti pengajian yang beliau ampu, padahal Kyai Kholil adalah guru beliau
dan ulama-ulama lain di seantero Jawa.
(Mbah Kholil memang adalah guru Hadratus Syaikh sebelum
yang disebut terakhir ini belajar ke Makkah dan dikenal sebagai ahli hadits
sepulangnya ke Jawa. Konon, beliau bahkan hafal hadits-hadits yang ada di
Shahih Bukhari & Shahih Muslim. Sementara itu, Mbah Kholil juga dikenal
sebagai guru dari ulama-ulama di Jawa saat itu. Hampir semua ulama besar di
Jawa mempunyai sanad keilmuan yang menyambung pada Kyai Kholil. Sosok ini bukan
hanya dianggap ulama yang mendalam keilmuannya [dalam bahasa pesantren: tabahhur
atau nyegoro. Maksudnya, keilmuannya dianggap seperti segoro/lautan/samudera
yang luas dalam], tapi juga seorang wali besar dengan maqam [tingkatan]
yang tinggi. Cukup banyak cerita yang beredar seputar karamah-karamah
beliau. Beliau pun dikenang sebagai seorang yang memperkenalkan penggunaan
Alfiyyah Ibn Malik untuk mempelajari gramatika bahasa Arab secara luas, yang
bertahan sampai sekarang)
Dengan penuh ke-tawadhu’-an dan kerendahan hati,
Syaikhana Kholil hanya menjawab bahwa beliau sudah bertekad untuk berguru,
belajar, dan menyerap ilmu dari KH. Hasyim Asy’ari.[1]
Khataman ketika
posonan
Selain waktunya yang khusus, kegiatan pembelajaran,
literatur yang dikaji, dan metode pembelajaran yang ada selama posonan
juga berbeda dengan hari-hari biasanya. Jika pada hari-hari biasa, para santri
pondok salaf mengkaji isi literatur klasik babon nan tebal secara aktif
dengan cara mendiskusikannya dalam forum-forum (yang disebut) musyawarah,
muhadharah, dll, yang ada setiap harinya (biasanya pada waktu malam), dalam
konteks posonan, para santri biasanya ”hanya” mengaji secara pasif
(hanya mendengarkan keterangan guru) kitab-kitab yang lebih tipis, yang
kira-kira bisa dikhatamkan selama sebulan. Di banyak pesantren salaf, ketika posonan
ada 5-7 kali waktu pengajian setiap harinya.
Biasanya, kegiatan ngaji dilaksanakan setelah Shubuh,
kemudian pada waktu Dluha (sekitar jam 8-9 atau 10-11, atau keduanya), setelah
Dzuhur, setelah Ashar, setelah Tarawih, dan ada beberapa pesantren yang
mengadakan ngaji lagi pada sekitar jam 9-an malam. Dalam tiap waktu, masih ada
lagi beberapa pengajian yang ada. Misalnya, setelah tarawih ada pengajian kitab
Qurratul ’Uyun di Aula I yang diampu oleh Gus A. Di waktu yang sama ada
juga pengajian ’Uqudul Lujain di Aula II yang diampu oleh Gus B. Begitu
juga yang terjadi di waktu-waktu lain. Para santri dipersilahkan memilih salah
satu pengajian di tiap waktunya.
Pada umumnya, semua ngaji tersebut sifatnya memang
pilihan. Bahkan ketika anda mendaftar posonan di suatu pesantren dan
membayar administrasinya, kemudian anda tidak mengikuti satu pun kegiatan ngaji
yang anda, itu pun tak masalah. Ketika Ramadhan, memang hampir tidak ada
kegiatan yang wajib diikuti semua santri sehingga membutuhkan pengawasan pengurus
pondok. Pada waktu seperti ini, yang diandalkan memang kesadaran dan kemauan
masing-masing orang dalam mengikuti kegiatan yang dipilihnya.
Di beberapa pesantren, selain pengajian literatur-literatur
tipis yang berbeda setiap waktunya, ada juga program pengajian untuk
mengkhatamkan kitab yang lebih tebal, seperti Ihya Ulumiddin, Shahih
Bukhari, Shahih Muslim, dll. Waktu pengajian pada program ini sama seperti
waktu pengajian lainnya, antara 5-7 kali setiap hari. Bedanya, pada program
ini, yang dikaji setiap waktunya adalah kitab yang sama, untuk mengejar target khataman
kitab-kitab tebal tersebut.
Pengajian yang dilakukan pada bulan Ramadhan, hampir di
semua pesantren, lebih mengutamakan aspek ngalap barakah dibanding aspek
lain, seperti pendalaman materi. Seorang guru yang mengajar ngaji posonan
biasanya hanya membaca teks kitab yang ”dipelajari” dan memaknainya (aktivitas
memaknai ini lebih dikenal dengan sebutan ”maknani”) dalam bahasa Jawa.
Jarang sekali sang guru menjelaskan apa yang terkandung dalam bagian literatur
yang dibacakannya. Kalaupun memberi keterangan, sang guru biasanya hanya
memberi keterangan singkat yang tak memakan banyak waktu. Karena motif utama
dalam pengajian ini adalah tabarrukan alias ngalap barakah,
mengkhatamkan literatur yang ”dipelajari” menjadi lebih diutamakan. Dalam mengaji
kitab-kitab yang tebal, terkadang bisa dibacakan sampai 30 halaman dalam sekali
pengajian, dengan kecepatan maknani yang super cepat. Kalau anda lengah
atau ngantuk sedikit saja, anda akan keulitan mencari bagian yang sedang
dibacakan oleh guru tersebut.
Ramadhan ala
Santri-Pelajar
Sebagaimana sudah disinggung di awal tulisan, dan di
tulisan sebelumnya, pesantren-pesantren yang terintegrasi dengan institusi
pendidikan ”resmi” biasanya tidak meliburkan santrinya selama sebulan penuh,
karena santri pesantren ini, selain santri juga adalah ”pelajar” sekolah
formal, sehingga harus mengikuti
kalender akademik pada umumnya. Pasti ada yang berbeda dari pesantren ini
dengan pesantren model sebelumnya dalam hal kegiatan di bulan Ramadhan. Tentu
tidak ada pengajian sebanyak 5-7 kali di pesantren seperti ini. Juga segenap
perbedaan lainnya.
Namun, selain perbedaan, tentu juga ada persamaan yang
bisa ditarik antara pesantren model ini dengan pesantren model pertama. Secara
umum, pola-pola utama kegiatan Ramadhan pesantren ini tidak berbeda jauh dengan
pesantren ”non-formal”. Pengajian-pengajian yang diadakan menekankan pada aspek
tabarrukan, sehingga mengutamakan khataman kitab dibanding
pendalaman materi. Kitab-kitab yang ”dipelajari” pun kebanyakan kitab-kitab tak
terlalu tebal, yang bisa khatam dalam waktu sebulan. (sebenarnya tidak sebulan
penuh, karena di beberapa hari terakhir Ramadhan, para santri diliburkan dan
diberi kesempatan pulang ke kampung halaman).
Selain jadwal, kegiatan, dan literatur yang berbeda pada
bulan Ramadhan, hampir tak ada suasana yang berbeda di pesantren seperti ini,
antara Ramadhan dan hari-hari biasa. Mereka yang menjalani kegiatan di bulan
Ramadhan adalah mereka yang juga mondok di situ pada hari-hari biasa. Hampir
tak ada arus migrasi atau ”pertukaran pelajar” di pesantren seperti ini pada
bulan Ramadhan. Yang paling berkesan ketika bulan puasa bagi pesantren seperti
ini, mungkin adalah aturan yang ”melonggar” dan kebebasan yang kadang mereka
idam-idamkan. Ketika mereka bebas main PS di luar. Ketika mereka bisa bolos
ngaji tanpa takut ta’zir (sanksi). Ketika mereka bisa main poker di
kamar sampai dini hari, bahkan sampai menjelang sahur, tanpa takut ketahuan dan
disemprot pengurus pondok. Bukankah bagi remaja pelajar semacam mereka (dan
saya, pada waktu itu), hal-hal itu yang kadang kelak akan selalu dikenang?
Istilah
“Tradisi Pesantren” di judul, saya ambil dari judul buku Zamakhsyari Dhofier yang
cukup terkenal, “Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai”, yang
pertama kali diterbitkan LP3ES pada 1982. Buku ini sendiri merupakan terjemahan
dari desertasinya di departemen Antropologi Sosiologi Australian National
University (ANU) pada tahun 1980.
[1] Cerita ini cukup terkenal dan beredar luas di
kalangan pesantren. Yang saya tulis ini berdasarkan keterangan lisan dari
berbagai sumber. Penggambaran situasi dan dialog sama sekali tidak bermaksud
mendramatisir.